Senin, 28 Februari 2011

Harmoni Hidup Di Dayak LESAN

Lesan adalah salah satu suku Dayak yang masih bertahan ditengah lebatnya pedalaman hutan Kalimantan Timur. Selama beberapa hari kami hidup bersama suku terpencil ini. Menikmati keindahan alam yang selama ini menjadi rumah mereka dan harmoni itu menjadi kenangan yang tidak terlupakan.

Dayak Lesan berada di Kecamatan Kelay, di Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Dari ibu kota kabupaten, kendaraan kami harus melewati jalan yang tidak nyaman selama setengah hari.

Setelah sekian lama Jalan Poros Kalimantan berakhir. Dan inilah kawasan muara lesan. Muara lesan adalah pusat kota yang menjadi penghubung dua belas kampung yang tersebar di sepanjang Sungai Kelai dan Sungai Lesan.

Perjalanan belum berakhir. Dari sini perjalanan kami teruskan dengan menggunakan ketingting. Ketingting adalah perahu berukuran kecil yang panjangnya kira - kira empat meter. Perahu ini hanya bisa mengangkut tiga hingga empat orang, termasuk seorang pengemudi kapal yang disebut Tekong. Ditangan Tekong inilah, nasib tergantung.

Suku Dayak Lesan tinggal ditepian sungai yang lebarnya sekitar tiga puluh meter. Sungai Lesan ini bermuara hingga ke Tanjung Redeb di Kabupaten Berau Kalimantan Timur.

Sebagian warga Dayak Lesan menyambut kami dengan ramah dan bersahabat. Mereka saat itu sedang membangun rumah dimana pemiliknya akan menggelar hajatan perkawinan.

Jumlahnya mereka tidak banyak sekitar tiga puluh tujuh kepala keluarga yang sebagian besar keturunan suku Dayak Gaay. Lesan adalah suku penjelajah yang telah menempati kawasan Sungai Kelay dan Sungai Segah di Kalimantan Timur sejak ratusan tahun yang lalu.

Sebagian besar rumah mereka rumah panggung yang terbuat dari kayu. Dan tidak bersekat yang memisahkan ruang tengah, ruang tidur maupun dapur. Yang menarik mereka mencuci, mandi dan buang air di sungai.

Bagian depan biasanya digunakan sebagai lumbung padi. Ini sekedar jaga – jaga, bila terjadi kebakaran, padi mereka masih diselamatkan. Yang paling menarik adalah cara mereka memasak. Mereka memanfaatkan kayu bakar dengan tungku sederhana dari besi.

Warga di Kampung Lesan Dayak, kebanyakan menggantungkan hidup dengan berladang, warisan ratusan nenek moyang mereka ratusan tahun yang lalu. Selain berladang sebagian memanfaatkan waktu luangnya, seperti yang dilakukan Ibu Ya Hoong.

Kehidupan suku Dayak sangat sederhana, sejak matahari terbit hingga terbenam. Dunia bagi mereka hanya sebatas sungai dan bukit yang mengeliling mereka.

Ke Makam Leluhur

Kami berangkat menuju gugusan Gunung Kapur dimana terdapat kuburan tua yang merupakan makam nenek moyang suku Dayak Lesan. Perjalanannya cukup jauh, sekitar dua jam perjalanan dengan menggunakan perahu ketingting ini.

Terasa menyenangkan menyusuri Sungai Merasah dengan perahu kecil ini. Asal kita harus diam, karena bergerak sedikit saja bisa oleng dan berakibat fatal. Hutan sepanjang sungai ini masih asri dan terjaga dengan baik.

Kami pun tiba diperkampungan Dayak Merasah. Letak makam leluhur Dayak Lesan berada di dalam gua di sepanjang tebing sungai ini. Di kawasan ini terdapat beberapa gua tua yang di gunakan untuk menyimpan peti mati warga suku Dayak tempo dulu.

Peti ini usianya sudah ratusan tahun. Dayak merasah terdiri dari etnis Dayak Benoaq, Dayak Punan dan Dayak Gaay. Pada jaman dahulu, para ketua adat yang wafat disemayamkan ditempat ini. Menurut keyakinan mereka, cara inilah yang terbaik agar arwah bisa menuju pintu kayangan.

Kami kembali menyusuri sungai mrasah menuju kawasan patung tebing anjing. Batu inilah yang mereka sebut tebing anjing, karena kemiripannya.

Batu ini mempunyai cerita sendiri. Konon tebing ini dahulu merupakan perbatasan dua kerajaan yang saling berperang. Salah satu anjing milik putri raja. Menyebrang perbatasan dan sang putri marah, lalu mengutuknya menjadi batu.

Kami kurang tertarik dengan legenda itu, dibandingkan malah asyik menikmati panorama. Ketika hendak melanjutkan perjalanan perahu kami terbalik. Air lumayan tinggi dan cukup deras. Beruntung kami menggunakan pelampung.

Menikmati Ikan Bakar

Sungai dan hutan ibarat ibu bagi mayarakat Dayak Lesan. Mereka menjaga dan memeliharanya dengan arif. Hutan dan kawasan Sungai Lesan dan Sungai Segah adalah sumber kehidupan, air, ekosistem dan keaneka ragaman hayati bagi kota Berau dan Tanjung Redeb di Kalimantan Timur.

Jika kawasan hutan di hulu sungai ini musnah, bisa menjadi ancaman banjir bagi kota Tanjung Redeb di Kabupaten Berau. Setelah seharian menikmati tebing karang di kawasan Dayak Merasah, maka mandi ditengah anak – anak Dayak menjadi cerita menarik.

Dan inilah satu – satunya hiburan bagi anak – anak ini, karena tidak ada sarana hiburan lain, seperti televisi, apalagi play station. Dua hari bersama suku Dayak Lesan, kami menjadi dekat dengan anak – anak ini.

Sekaligus merasakan suramnya masa depan mereka, karena ancaman terhadap lingkungan mereka. Suku Dayak Lesan memiliki kebiasaan unik. Tiap akhir pecan, mereka kerap berlibur dengan berburu atau mencari ikan di hulu sungai.

Kebiasaan ini mereka sebut Poll On. Atau piknik bersama. Kaum prialah yang bertugas menangkap ikan. Sedangkan kaum wanita dan anaknya menyiapkan kayu api dan lauk pauk atau lalapan. Ini ikan jenis mereka namakan Palau, Salap, Munjuk, sapaan dan ikan baung. Namanya aneh di telinga kami. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi mereka sejak lama.

Seharian menyusuri sungai dan hutan tentu melelahkan. Menikmati ikan bakar bersama mereka, tentu sangat menyenagkan dan mengobati rasa letih. Ibarat cinta pertama, kami kepicut dengan rasa persahabatan dan keindaham alam kawasan ini, dan tentu perjalanan yang tak terlupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar