Senin, 28 Februari 2011

Harmoni Hidup Di Dayak LESAN

Lesan adalah salah satu suku Dayak yang masih bertahan ditengah lebatnya pedalaman hutan Kalimantan Timur. Selama beberapa hari kami hidup bersama suku terpencil ini. Menikmati keindahan alam yang selama ini menjadi rumah mereka dan harmoni itu menjadi kenangan yang tidak terlupakan.

Dayak Lesan berada di Kecamatan Kelay, di Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Dari ibu kota kabupaten, kendaraan kami harus melewati jalan yang tidak nyaman selama setengah hari.

Setelah sekian lama Jalan Poros Kalimantan berakhir. Dan inilah kawasan muara lesan. Muara lesan adalah pusat kota yang menjadi penghubung dua belas kampung yang tersebar di sepanjang Sungai Kelai dan Sungai Lesan.

Perjalanan belum berakhir. Dari sini perjalanan kami teruskan dengan menggunakan ketingting. Ketingting adalah perahu berukuran kecil yang panjangnya kira - kira empat meter. Perahu ini hanya bisa mengangkut tiga hingga empat orang, termasuk seorang pengemudi kapal yang disebut Tekong. Ditangan Tekong inilah, nasib tergantung.

Suku Dayak Lesan tinggal ditepian sungai yang lebarnya sekitar tiga puluh meter. Sungai Lesan ini bermuara hingga ke Tanjung Redeb di Kabupaten Berau Kalimantan Timur.

Sebagian warga Dayak Lesan menyambut kami dengan ramah dan bersahabat. Mereka saat itu sedang membangun rumah dimana pemiliknya akan menggelar hajatan perkawinan.

Jumlahnya mereka tidak banyak sekitar tiga puluh tujuh kepala keluarga yang sebagian besar keturunan suku Dayak Gaay. Lesan adalah suku penjelajah yang telah menempati kawasan Sungai Kelay dan Sungai Segah di Kalimantan Timur sejak ratusan tahun yang lalu.

Sebagian besar rumah mereka rumah panggung yang terbuat dari kayu. Dan tidak bersekat yang memisahkan ruang tengah, ruang tidur maupun dapur. Yang menarik mereka mencuci, mandi dan buang air di sungai.

Bagian depan biasanya digunakan sebagai lumbung padi. Ini sekedar jaga – jaga, bila terjadi kebakaran, padi mereka masih diselamatkan. Yang paling menarik adalah cara mereka memasak. Mereka memanfaatkan kayu bakar dengan tungku sederhana dari besi.

Warga di Kampung Lesan Dayak, kebanyakan menggantungkan hidup dengan berladang, warisan ratusan nenek moyang mereka ratusan tahun yang lalu. Selain berladang sebagian memanfaatkan waktu luangnya, seperti yang dilakukan Ibu Ya Hoong.

Kehidupan suku Dayak sangat sederhana, sejak matahari terbit hingga terbenam. Dunia bagi mereka hanya sebatas sungai dan bukit yang mengeliling mereka.

Ke Makam Leluhur

Kami berangkat menuju gugusan Gunung Kapur dimana terdapat kuburan tua yang merupakan makam nenek moyang suku Dayak Lesan. Perjalanannya cukup jauh, sekitar dua jam perjalanan dengan menggunakan perahu ketingting ini.

Terasa menyenangkan menyusuri Sungai Merasah dengan perahu kecil ini. Asal kita harus diam, karena bergerak sedikit saja bisa oleng dan berakibat fatal. Hutan sepanjang sungai ini masih asri dan terjaga dengan baik.

Kami pun tiba diperkampungan Dayak Merasah. Letak makam leluhur Dayak Lesan berada di dalam gua di sepanjang tebing sungai ini. Di kawasan ini terdapat beberapa gua tua yang di gunakan untuk menyimpan peti mati warga suku Dayak tempo dulu.

Peti ini usianya sudah ratusan tahun. Dayak merasah terdiri dari etnis Dayak Benoaq, Dayak Punan dan Dayak Gaay. Pada jaman dahulu, para ketua adat yang wafat disemayamkan ditempat ini. Menurut keyakinan mereka, cara inilah yang terbaik agar arwah bisa menuju pintu kayangan.

Kami kembali menyusuri sungai mrasah menuju kawasan patung tebing anjing. Batu inilah yang mereka sebut tebing anjing, karena kemiripannya.

Batu ini mempunyai cerita sendiri. Konon tebing ini dahulu merupakan perbatasan dua kerajaan yang saling berperang. Salah satu anjing milik putri raja. Menyebrang perbatasan dan sang putri marah, lalu mengutuknya menjadi batu.

Kami kurang tertarik dengan legenda itu, dibandingkan malah asyik menikmati panorama. Ketika hendak melanjutkan perjalanan perahu kami terbalik. Air lumayan tinggi dan cukup deras. Beruntung kami menggunakan pelampung.

Menikmati Ikan Bakar

Sungai dan hutan ibarat ibu bagi mayarakat Dayak Lesan. Mereka menjaga dan memeliharanya dengan arif. Hutan dan kawasan Sungai Lesan dan Sungai Segah adalah sumber kehidupan, air, ekosistem dan keaneka ragaman hayati bagi kota Berau dan Tanjung Redeb di Kalimantan Timur.

Jika kawasan hutan di hulu sungai ini musnah, bisa menjadi ancaman banjir bagi kota Tanjung Redeb di Kabupaten Berau. Setelah seharian menikmati tebing karang di kawasan Dayak Merasah, maka mandi ditengah anak – anak Dayak menjadi cerita menarik.

Dan inilah satu – satunya hiburan bagi anak – anak ini, karena tidak ada sarana hiburan lain, seperti televisi, apalagi play station. Dua hari bersama suku Dayak Lesan, kami menjadi dekat dengan anak – anak ini.

Sekaligus merasakan suramnya masa depan mereka, karena ancaman terhadap lingkungan mereka. Suku Dayak Lesan memiliki kebiasaan unik. Tiap akhir pecan, mereka kerap berlibur dengan berburu atau mencari ikan di hulu sungai.

Kebiasaan ini mereka sebut Poll On. Atau piknik bersama. Kaum prialah yang bertugas menangkap ikan. Sedangkan kaum wanita dan anaknya menyiapkan kayu api dan lauk pauk atau lalapan. Ini ikan jenis mereka namakan Palau, Salap, Munjuk, sapaan dan ikan baung. Namanya aneh di telinga kami. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi mereka sejak lama.

Seharian menyusuri sungai dan hutan tentu melelahkan. Menikmati ikan bakar bersama mereka, tentu sangat menyenagkan dan mengobati rasa letih. Ibarat cinta pertama, kami kepicut dengan rasa persahabatan dan keindaham alam kawasan ini, dan tentu perjalanan yang tak terlupakan.

LELUHUR SUKU DAYAK

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan Palangka Bulau ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang).
Menurut cerita nenek moyang mereka asal mulanya diturunkan dari langit ke dalam dunia ini di empat tempat berturut-turut dengan Palangka Bulau, yaitu:
1. Di Tantan Puruk Pamatuan di Hulu Sungai Kahayan dan Barito
Maka inilah seorang manusia yang pertama yang menjadi datuknya orang-orang dayak yang diturunkan di Tantan Puruk Pamatuan, yang diberi nama oleh Ranying : Antang Bajela Bulau atau Tunggul Garing Janjahunan Laut.
Dari Antang Bajela Bulau maka terciptalah dua orang laki-laki yang gagah perkasa yang menteng ureh mamut bernama Lambung atau Maharaja Bunu dan Lanting atau Maharaja Sangen.
2. Di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting (Bukit Kaminting)
Oleh Ranying terciptalah seorang yang maha sakti, bernama Kerangkang Amban Penyang atau Maharaja Sangiang.
3. Di Datah Takasiang, Hulu sungai Rakaui (Sungai Malahui Kalimantan Barat)
Oleh Ranying terciptalah 4 orang manusia, satu laki-laki dan tiga perempuan, yang laki-laki bernama Litih atau Tiung Layang Raca Memegang Jalan Tarusan Bulan Raca Jagan Pukung Pahewan, yang seketika itu juga menjelma menjadi Jata dan tinggal di dalam tanah di negeri yang bernama Tumbang Danum Dohong. Ketiga puteri tadi bernama Kamulung Tenek Bulau, Kameloh Buwooy Bulau, Nyai Lentar Katinei Bulau.
4. Di Puruk Kambang Tanah Siang (Hulu Barito)
Oleh Ranying terciptalah seorang puteri bernama Sikan Atau Nyai Sikan di Tantan Puruk Kambang Tanah Siang Hulu Barito.
PEMBAGIAN SUKU DAYAK :
Suku Dayak terbagi dalam 7 suku besar, dan terbagi lagi dalam 18 suku kecil, dan terbagi lagi dalam 405 suku kekeluargaan/sedatuk. Pembagiannya adalah :
1. Dayak Ngaju (terdiri dari 4 suku kecil dan 90 suku sedatuk)
1. Dayak Ngaju (terbagi dalam 53 suku sedatuk)
2. Dayak Ma`anyan (terbagi dalam 8 suku sedatuk)
3. Dayak Dusun (terbagi dalam 8 suku sedatuk)
4. Dayak Lawangan (terbagi dalam 21 suku sedatuk)
2. Dayak Apu Kayan (terdiri dari 3 suku kecil dan 60 suku sedatuk)
1. Dayak Kenya (terbagi dalam 24 suku sedatuk)
2. Dayak Kayan (terbagi dalam 10 suku sedatuk)
3. Dayak Bahau (terbagi dalam 26 suku sedatuk)
3. Dayak Iban dan Heban (terbagi dalam 11 suku sedatuk)
4. Dayak Klemantan atau Dayak Darat (terdiri dari 2 suku kecil dan 87 suku sedatuk)
1. Dayak Klemantan (terbagi dalam 47 suku seadtuk)
2. Dayak Ketungau (terbagi dalam 40 suku sedatuk)
5. Dayak Murut (terdiri dari 3 suku kecil dan 44 suku sedatuk)
1. Dayak Murut (terbagi dalam 28 suku sedatuk)
2. Dayak Idaan (terbagi dalam 6 suku sedatuk)
3. Dayak Tidung (terbagi dalam 10 suku sedatuk)
6. Dayak Punan (terdiri dari 4 suku kecil dan 52 suku sedatuk)
1. Dayak Basap (terbagi dalam 20 suku sedatuk)
2. Dayak Punan (terbagi dalam 24 suku sedatuk)
3. Dayak Ot (terbagi dalam 5 suku sedatuk)
4. Dayak Bukat (terbagi dalam 3 suku sedatuk)
7. Dayak Ot Danum (terdiri dari 61 suku sedatuk)
BENTUK HUKUM ADAT DAYAK
Dalam melaksanakan adat suku dayak, ada dua aliran yaitu:
1. Tersilah kepada Keduniawian
Hukum adat ini berlaku dalam perkara kriminal, etika dan pergaulan masyarakat. Hukum adat juga mengadili perkara yang berhubungan dengan kemasyarakatan misalnya: masalah harta benda, pusaka, perkimpoian, perceraian, ketentuan ahli waris, masalah anak dalam perceraian, milik perpantangan, hak-hak atas tanah.
2. Tersilah kepada Agama
Hukum Adat yang tersilah kepada Agama menghukum siapa pun yang telah menghina dan mencemarkan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat, misalnya: merusak kubur, merusak pahewan, merusak petak ruas, merusak petak pali, merusak Indus, merusak sandung, melanggar adat pali disaat kampong memegang rutas, melanggar adat negeri ketika memalas pali, melanggar adat pali ditempat orang melahirkan, melanggar adat pali pada saat pengobatan orang sakit, merusak pangantoho (rumah kecil tempat pujaan), tulah berjinah dengan saudara, tulah berjinah dengan ibu/bapak, tulah berjinah dengan misan, merusak pantar.
ASAL USUL NAMA KALIMANTAN
Orang Dayak mempunyai cara pandang tersendiri terhadap sejarah pulaunya, yang terungkap dalam tradisi lisan yang disebut Tetek Tatum. Tetek tatum merupakan salah satu kesusastraan Dayak asli yang artinya ratap tangis sejati. Tetek tatum dinyanyikan dengan lagu dan sangat digemari nenek moyang orang-orang Dayak yang mana isinya menceritakan keadaan Kalimantan sejak zaman bahari, zaman dewa-dewa, tentang peperangan, silsilah dan lain-lain. Sedangkan Kalimantan itu sendiri mempunyai arti:
1. Kali = sungai, Mantan = besar (mantan dalam bahasa dayak sangen artinya besar), yang akhirnya Kalimantan berarti pulau yang memiliki sungai besar-besar.
2. Kalimantan = nama sebangsa pohon buahnya asam yang banyak terdapat di Kalimantan.
3. Borneo berasal dari Brunei yang dulunya disebut dengan nama Burnei sehingga akhirnya menjadi Borneo.

PANGLIMA BURUNG

Oleh : Rudy Gunawan
Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa. Sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Ialah panglima perang Dayak, Panglima Burung, yang disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman.

www.flickr.com/photos/beckzaidan/1102006510
Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok ini, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.
Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.
Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.
Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang. Riuh rendah tak berubah menjadi ketegangan di ruang yang lingkup--yang oleh orang Dayak Ngaju disebut Danum Kaharingan Belum.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.
Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.
Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual--yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah--dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau--memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah--agama manapun--dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.
Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya--entah itu balas dendam, ekonomi, kesenjangan sosial, dan lain-lain--tetap saja tidak dapat dibenarkan. Mata dibalas mata hanya akan berujung pada kebutaan bagi semuanya. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.

Kamis, 24 Februari 2011

Budaya - Desa Adat Penglipuran

 ditulis oleh : Barry Kusuma
Desa adat Penglipuran berlokasi pada kabupaten Bangli yang berjarak 45 km dari kota Denpasar, Desa adat yang juga menjadi objek wisata ini sangat mudah dilalui. Karena letaknya yang berada di Jalan Utama Kintamani – Bangli. Desa Penglipuran ini juga tampak begitu asri, keasrian ini dapat kita rasakan begitu memasuki kawasan Desa. Pada areal Catus pata yang merupakan area batas memasuki Desa Adat Penglipuran, disana terdapat Balai Desa, fasilitas masyarakat dan ruang terbuka untuk pertamanan yang merupakan areal selamat datang.










[navigasi.net] Budaya - Desa Adat Penglipuran
Seorang nenek yang menjual hasil kebunnya ke pengunjung, hasil kebun ini tergantung musim dan buahnya. Jadi jangan heran setiap kali kita kesana nenek ini menjual berbagai macam aneka buah.


Desa ini merupakan salah satu kawasan pedesaan di Bali yang memiliki tatanan yang teratur dari struktur desa tradisional, perpaduan tatanan tradisional dengan banyak ruang terbuka pertamanan yang asri membuat desa ini membuat kita merasakan nuansa Bali pada dahulu kala. Penataan fisik dan struktur desa tersebut tidak lepas dari budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat Adat Penglipuran dan budaya masyarakatnya juga sudah berlaku turun temurun. Keunggulan dari desa adat penglipuran ini dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Bali adalah, Bagian depan rumah serupa dan seragam dari ujung utama desa sampai bagian hilir desa. Desa tersusun sedemikian rapinya yang mana daerah utamanya terletak lebih tinggi dan semakin menurun sampai kedaerah hilir. Selain bentuk depan yang sama, adanya juga keseragaman bentuk dari bahan untuk membuat rumah tersebut. Seperti bahan tanah untuk tembok dan untuk bagian atap terbuat dari penyengker dan bambu untuk bangunan diseluruh desa.
Karena Desa Penglipuran terletak didataran yang agak tinggi, suasana terasa cukup sejuk. Selain suasana pertamanan yang asri tetapi juga sangat ramahnya penduduk desa terhadap tamu yang datang. Banyak wisatawan yang datang dapat menikmati suasana desa dan masuk kerumah mereka untuk melihat kerajinan – kerajinan yang penduduk desa buat. Sehingga untuk tinggal berlama lama disini sangatlah menyenangkan.








[navigasi.net] Budaya - Desa Adat Penglipuran
Suasana disore hari, setelah penduduk banyak beraktivitas bercocok tanam. mereka kumpul dan duduk-duduk didepan rumah mereka


Desa Adat Penglipuran ini termasuk desa yang banyak melakukan acara ritual, sehingga banyak sekali acara yang diadakan didesa ini seperti pemasangan dan penurunan odalan, Galungan dll. Memang Saat yang sangat tepat untuk datang kedesa ini adalah pada acara tersebut berlangsung, sehingga kita dapat melihat langsung keunikan dan kekhasan dari desa penglipuran ini. Walaupun anda tidak sempat datang pada saat acara tersebut diatas, anda dapat menikmati suasana desa pada sore hari. Karena pada saat sore umumnya penduduk desa keluar rumah setelah selesai melakukan aktifitas rutin mereka dipagi dan siang hari, merek keluar untuk berkumpul bersama sama penduduk desa yang lain dan para pria pada saat sore hari mengeluarkan ayam jago kesayangan mereka dan tidak jarang mereka melakukan tajen/adu ayam tetapi tanpa pisau dikakinya. Sambil menunggu datangnya senja anda dapat menikmati Bubur Ayam diwarung Pak Made yang sangat bersih dan murah meriah dan berbaur bersama penduduk desa adat penglipuran merupakan pengalaman yang tidak akan saya lupakan.

Senin, 21 Februari 2011

Cerita Hidup Orang Desa

Saat seorang bayi mungil lahir, semua orang dewasa di sekitarnya berbahagia. Harapan setinggi - tingginya digantungkan dan doa semulia - mulianya dipanjatkan.
Namun saat kenyataannya sang bayi tumbuh menjadi anak yang terbelakang, semua orang dewasa meratapinya. Mengasihaninya.
Hidupnya akan susah, kata mereka. Kasihan sekali, lanjut mereka.

Terbukti memang, hidup si anak susah. Memijat tetangga, dibayar lima ribu rupiah.
Di tengah perjalanan, dihadang anak tetangga. Uang lima ribu dirampas dan ditukar dengan seribu rupiah.
Anak bodoh, anak bodoh! Anak bodoh tidak perlu dibayar lima ribu. Ejekan terdengar sepanjang jalan.
Kasihan kamu nak, kasihan kamu nak. Ibu di rumah meneteskan air mata melihat hasilnya.
Si anak yang tak mengerti hanya merasa senang dengan apapun yang didapatnya.

Tahun demi tahun berlalu. Ketidakadilan dan ejekan adalah makanan sehari - hari si anak.
Namun ia tak pernah cukup mengerti tentang mengapa semua itu terjadi
dan ia hanya menerima semuanya begitu saja. Mungkin memang  seharusnya begitu pikirnya.

Begitu yang terjadi hingga tubuhnya meninggi dan jakunnya muncul.

Waktunya pun tiba. Pemuda - pemuda berbondong - bondong berjalan menyusuri sungai,
meninggalkan desa dan masa kanak - kanak mereka.

Mengadu nasib di kota, mencari kebahagiaan kata mereka.
Ibu - ibu mengantar dengan air mata. Setengah sedih, setengah haru.
Perpisahan ini bisa jadi selamanya, kata mereka.

Ibunya pun meneteskan air mata. Anaknya semata wayang, takkan pernah ke mana - mana.
Sementara ia yang tak terlalu mengerti, hanya terus menjalankan kebiasaannya memijit. Yang berbeda hanyalah tidak ada lagi yang menghadang dan mengejeknya. Ia pulang dengan hasil utuh dan perasaan yang baru dikenalnya sebagai perasaan senang.

Hidupnya terus susah namun kebaikan dan kemurahan hati manusia terus mengalir. Bayarannya memijit bertambah, dan ia sudah bisa berhitung dan menabung.
Cukup masukkan ke kaleng ini saja setelah dapat uang, begitu kata ibunya
dan itu yang dilakukannya selalu tanpa terlupa.

Hingga ibunya menua dan semua orang hadir membantunya menguburkan sosoknya yg renta.

Apa ini, apa ini? Tanyanya pada yang hadir. Mengapa dada ini terasa sakit dan air keluar dari mataku? Semua yang hadir menangis terisak. Kasihan kau nak, kasihan kau nak.
Ia melanjutkan harinya dan belajar mengenal rasa sepi. Terkadang air masih keluar dari matanya saat terbayang ibu.
Ia yang tak terlalu mengerti mengenai kematian, hanya berpikir mungkin begitu seharusnya, dan hanya menjalaninya.
Hingga perlahan orang - orang yang dikenalnya sejak kecil pun satu persatu menghilang meninggal, dan air tak keluar lagi dari matanya.

Tahun - tahun berlalu, dan ia menjalani harinya seperti biasa.
Sepulangnya, seorang pria yang tak ia kenal, duduk tertunduk di pinggir jalan.
Ia menghampirinya namun tak berhasil bertanya.

Ketika pria itu menengadahkan kepala, ia melihat air keluar dari mata pria itu.
Aku anak durhaka. Ibu matipun aku tak kembali. Kukira kebahagiaan ada di kota sana. Kukira semua itu nyata. Tapi ini yg nyata ternyata. Aku bukan apa - apa, tak punya apa - apa, dan tak punya siapa - siapa.
Pria itu terus meracau dan air semakin banyak keluar dari matanya.

Ia yang tak terlalu mengerti apa yang dibicarakan pria itu, hanya memandanginya diam. Ia tak mengerti apa yang dibicarakannya, tapi ia mengenal air yang keluar dari mata itu.
Dan lihatlah aku sekarang, berbicara dengan si bodoh yang tak mengerti apa - apa! Si bodoh yang tak bisa apa - apa! Teriak pria keras - keras sambil menangis.
Ia mengenal itu! Pria itu adalah anak yang selalu mengatakan hal yang sama dulu. Yang selalu tertawa senang saat menukar uang lima ribu rupiah miliknya menjadi uang seribu rupiah.

Ia yang tak terlalu mengerti bagaimana menjelaskannya, berlari kencang ke arah rumahnya.
Bagus! Sekarang si bodoh pun meninggalkanku! Bodoh bodoh!! Pria itu terus meracau.
Tak berapa lama ia kembali ke hadapan pria itu dengan nafas terengah - engah.
Tukar ini dengan sepuluh ribu rupiah, katanya seraya memberikan uang lima puluh ribu rupiah kepada pria itu.

Kamu bodoh ya! Apa maksudmu! Pria itu marah dan berdiri mencengkeram keras lengannya.
Ampun ampun. Dulu kamu akan senang kalau sudah menukar uangku. Makanya tukar ini! Aku masih punya lagi kalau kamu perlu banyak sampai air itu tidak keluar lagi dari matamu, katanya ketakutan.
Pria itu melepaskan cengkeramannya dan tertegun lama.

Ini tukar. Katanya sambil menyorongkan uang yang dipegangnya.
Mata pria itu berkaca - kaca memandangnya seraya bertanya,
kenapa kau pikir ini bisa membuat air mataku tak turun lagi?

Ia yang tidak terlalu mengerti pertanyaannya itu berusaha mengatakan apa yang ia tahu.
Setiap aku ingat ibu, air mau keluar dari mataku. Aku pergi memijit dan uang itu yang kubawa pulang. Sekarang air tak keluar lagi dari mataku.
Pakailah untukmu juga, ucapnya perlahan pada pria itu.

Pria itu memeluknya erat dan menangis tersedu - sedu.
Ia yang tak terlalu mengerti dengan semua itu hanya berpikir mungkin memang seperti itu seharusnya. Ia pun memeluk pria itu juga.

Hingga akhir, hidupnya memang selalu susah. Tapi air tak pernah keluar lagi dari matanya.
Anak tetangganya itu membantunya hingga akhir hayatnya. Bersama - sama bekerja dan bertetangga. Hingga akhir ia tak pernah menikah. Ia yang tak pernah terlalu memahaminya, menganggap mungkin memang begitu seharusnya.

Sesaat sebelum ia meninggal, sahabatnya itu pernah bertanya padanya,
Kamu tahu apa itu bahagia? Apakah kamu merasa bahagia dengan hidupmu?
Ia yang tak terlalu mengerti pertanyaannya, berusaha menjawab apa yang ia tahu.
Mungkin memang begini seharusnya, jawabnya tersenyum.

----------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah cerita yang diceritakan oleh pembantuku saat aku kecil dulu. Cerita yang aneh pikirku dulu. Terbiasa untuk selalu mencari moral ceritanya, saat itu aku tidak mendapatkannya. Tidak ada pembalasan untuk si anak nakal. Tidak ada keadilan untuk si bodoh. Tidak ada perubahan mendasar dalam kehidupannya. Tidak ada superhero atau sesuatu yang fantastis. Memang ada sedikit kebaikan hati, tapi itu lebih karena kebodohan si bodoh. Dan saat kutanyakan pada pembantuku, jawabannya "Saya ini orang bodoh non. tapi mungkin memang begini seharusnya. Jagain non biar jadi non yang jadi anak pinter."

Dua puluh tahun setelahnya, aku mengingat dan menulis cerita ini lagi, dan mataku berkaca - kaca. Moral ceritanya? Sangat berlimpah.
Ada kepasrahan dan keyakinan di sana. Ada kepolosan. Ada penerimaan hidup. Ada ketabahan. Ada kesederhanaan. Ada kebahagiaan dalam ketidakberadaan dan ketidakmewahan. Ada rasa hangat yang menyusup di relung hati.

PANTAK

Adalah sebuah patung kayu suku Dayak Kanayatn yang diciptakan untuk mengenang para tokoh-tokoh penting dalam suatu kampung, kumpulan atau komunitas,.... ia bukan berhala, ia bukan Tuhan,... ia hanyalah simbol rasa hormat kita pada leluhur..

KISAH CINTA

Di suatu pulau kecil ada seorang gadis bernama CINTA dan teman-temannya namanya kecantikan, kesedihan, kegembiraan, kekayaan, mereka hidup berdampingan dengan baik namun suatu ketika datang
badai menghepas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menggelamkan pulau itu
semua penghuni pulau cepat2 berusaha menyelamatkan diri,CINTA sangat kebingungan sebab ia tak dapat berenang dan tdk mempunyai prahu dia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan smentara itu air smakin naik membasahi kakinya tak lama CINTA melihat Kekayaan sdang mengayuh perahu'kekayaan!kekayaan! tolong aku!,' teriak CINTA' Aduh! maaf, CINTA' kata kekayaan" aku tak dapat membawamu serta perahuku ini tenggelam lagipula tak ada tempat lagi bagimu.CINTA sedih sekali namun kemudian dilihatnya Kegembiraan lewat dgn perahunya " kegembiraan! tolong aku ! " teriak CINTA namun kegembiraan terlalu gembira karna ia menemukan perahu sehingga ia tak dpt mendengar teriakan CINTA, air semakin tinggi dan CINTA smakin panik.

Tak Lama lewatlah kecantikan " Kecantikan! bawalah aku bersamamu!, " teriak CINTA lg " Wah, CINTA kamu basah dan kotor, aku tak bisa membawamu nanti bisa mengotori perahuku yang indah ini " sahut kecantikan.CINTA sdih skali mendengarnya ia mlai menangis terisak-isak Saat itulah lewat kesedihan " Oh Kesedihan, bawalah aku bersamamu!, " kata cinta " Maaf CINTA aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja, " kata kesedihan sambil terus mengayuh perahunya.CINTA putus asa.

Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya.Pada saat kritis itulah tiba2 terdengar suara "CINTA! Mari cepat naik ke perahuku!" CINTA menoleh ke arah suara itu dan cepat2 naik keperahu itu,tepat sebelum air menenggelamkannya di pulau terdekat, CINTA turun dan perahu itu langsung pergi lgi.Pada saat itu barulah CINTA sadar ia sama sekali tdk mengetahui siapa yang menolongnya, CINTA segera bertanya kpd penduduk pulau itu " Yang tadi adalah WAKTU ," kata penduduk itu "Tapi, mengapa ia menyelamatkan aku ? Aku tdk mengenalinya Bahkan teman2ku yg mengenalku pun enggan menolong" Tanya CINTA heran " Sebab HANYA WAKTULAH YANG TAHU BERAPA NILAI SESUNGGUHNYA DARI CINTA ITU"

Lebih lanjut tentang: Kisah Cinta